Jika ada pihak mengatasnamakan PRMN yang memeras, menipu, dan melanggar kode etik, sampaikan pengaduan pada kami.

Setelah Edy Rahmayadi Mundur

- 27 Januari 2019, 00:05 WIB
PENGATURAN skor sepak bola.*/DOK. PR
PENGATURAN skor sepak bola.*/DOK. PR

KABAR mundurnya Edy Rahmayadi dari jabatan ketua umum PSSI dalam kongres di Bali pekan lalu sontak mengejutkan saya. Melalui jaringan-jaringan tepercaya, saya mendapat info bahwa pada malam sebelum kongres, Edy Rahmayadi sempat mengatakan bahwa dia tak akan mungkin meninggalkan PSSI dalam kondisi seperti sekarang.

Baik saja tidak cukup

Dalam konteks PSSI, Edy Rahmayadi tentu saja adalah orang baik karena seluruh kejahatan dalam sepak bola Indonesia telah berlangsung jauh sebelum masa kepemimpinan Edy Rahmayadi.

Saya pernah bicara dengan narasumber tepercaya yang mengatakan bahwa kehadiran Edy Rahmayadi justru membuat orang-orang lama yang bermasalah justru menjadi kagok, canggung, dan kesulitan bergerak. Karena ternyata, Edy Rahmayadi adalah orang yang tegas dan sulit dikendalikan.

Dengan kabar itu pula saya bisa menerima rumor bahwa Edy Rahmayadi dimakzulkan justru oleh orang-orang dalam PSSI. Terlebih setelah isu match fixing merebak. Dapat kita telusuri melalui berbagai pemberitaan bahwa Edy Rahmayadi sangat kooperatif terhadap kinerja satgas anti mafia sepak bola bahkan mempersilakan satgas masuk dan memeriksa orang-orang PSSI.

Tentu itu bukan berita baik bagi orang-orang busuk di federasi sepak bola negeri ini. Segala karut marut ini sudah laten dan tidak serta-merta muncul ketika dia memimpin PSSI, tetapi tentu saja Edy Rahmayadi sebagai orang nomor 1 di PSSI harus siap ketika dia menjadi orang yang paling disalahkan terkait persoalan sepak bola di Indonesia.

Mencari figur istimewa

Perlu kita pahami bahwa desakan mundur yang disuarakan publik bukan karena meragukan kapasitas Edy Rahmayadi untuk memimpin organisasi. Kapasitas Edy Rahmayadi jelas teruji melalui karier militer yang cemerlang.

Persoalan utamanya adalah PSSI memerlukan orang yang bisa bekerja total di federasi dan tidak menjadikan PSSI sebagai jabatan sambi, alias PSSI jangan dipimpin orang yang melakukan rangkap jabatan.

Memimpin PSSI jelas memerlukan totalitas dan energi yang besar. Terlebih, dalam upaya memberantas match fixing yang memerlukan komunikasi, waktu, dan koordinasi yang terus menerus.

Halaman:

Editor: Eko Noer Kristiyanto


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Dapatkan konten ekslusif "Langganan
sekarang
dan tetap
up to date!"
Email Address:

Terpopuler

Kabar Daerah

Pikiran Rakyat Media Network

x