Jika ada pihak mengatasnamakan PRMN yang memeras, menipu, dan melanggar kode etik, sampaikan pengaduan pada kami.

Perubahan Iklim dan SDGs

- 22 April 2019, 11:19 WIB
Ade Kadarisman.*
Ade Kadarisman.*

SEJUMLAH penumpang pesawat terbang di Bandara Chicago, Illinois, Amerika Serikat akhirnya memutuskan untuk kembali ke rumah setelah maskapai penerbangan membatalkan penerbangan karena cuaca dingin yang ekstrem pada awal Februari 2019. VOA (Voice of America) mencatat setidaknya 1.800 penerbangan dibatalkan di dua bandara utama di Chicago. Seluruh sekolah di Chicago pun diliburkan untuk menghindari bahaya cuaca dingin bagi muridnya.

Cuaca dingin yang mencapai minus 54 derajat Celcius di Kanada dan Amerika Serikat bagian Tengah dan Timur menyebabkan sejumlah sungai dan danau membeku, termasuk di antaranya objek wisata Air Terjun Niagara yang terletak negara bagian Ontario Kanada. Pemerintah Amerika Serikat telah menetapkan keadaan darurat di sejumlah negara bagian menyusul jatuhnya sejumlah korban meninggal dunia karena terpapar cuaca dingin yang ekstrem. Masyarakat pun diminta untuk tetap tinggal di rumah dengan pemanas udara dan membatasi kegiatan di luar rumah. Departemen Kesehatan Amerika Serikat melansir bahaya cuaca dingin ekstrem bagi kesehatan khususnya serangan hipotermia bagi anak-anak dan lanjut usia.

Sementara itu, di bagian bumi sebelah selatan, gelombang cuaca panas menerpa wilayah Australia sejak akhir tahun lalu hingga kini. Pemerintah Australia menyebutkan suhu di beberapa negara bagian mencapai 45 derajat Celcius. Menurut Harian Guardian, cuaca panas yang ekstrem tersebut menyebabkan bencana kebakaran hutan, satwa liar mati, dan buah-buahan mengeras. ABC News melaporkan, akibat cuaca panas ekstrem di Australia 500 ekor sapi mati di Australia Barat, dan 1000 ekor lainnya terancam mati karena tidak adanya pakan dan air yang cukup. Hewan-hewan liar melata, seperti ular dan kadal, dilaporkan memasuki rumah-rumah penduduk untuk berlindung dari sengatan matahari. Departemen Kesehatan Australia telah memperingatkan warganya akan bahaya dehidrasi bagi tubuh manusia akibat cuaca panas yang ekstrem. Warga pun diimbau untuk tinggal di ruangan berpendingin udara.

Di Indonesia, menjelang akhir 2018 dan bulan pertama hingga pertengahan bulan kedua 2019, BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) melaporkan 513 kejadian bencana alam berupa tsunami, banjir bandang, tanah longsor, dan angin puting beliung. Rentetan kejadian bencana alam tersebut telah menelan ratusan korban jiwa, ratusan korban luka berat dan ringan, bahkan puluhan orang hilang. Sementara ribuan lainnya mengungsi untuk menghindari lokasi bencana. Kerugian material akibat bencana yang beruntun ini diperkirakan mencapai puluhan triliun rupiah. Saat musibah terjadi, kita menyaksikan duka dan pilu yang menyayat hati dan perasaan.

Organisasi Kesehatan Dunia pada 2014 lalu memperkirakan bahwa perubahan iklim akan menyebabkan kematian lebih dari 250 ribu penduduk dunia akibat gelombang panas, kelangkaan pangan, dan wabah penyakit. Suatu studi mengenai perubahan iklim pada akhir 2018 lalu yang dimuat dalam Jurnal Ilmu Kedokteran di New England Amerika Serikat memperkirakan bahwa jumlah kematian akibat perubahan iklim akan mencapai lebih dari setengah juta orang dewasa pada 2050. Kematian ini diakibatkan oleh menurunnya produksi pangan akibat cuaca panas yang ekstrem.

Selain berdampak pada kematian, menurut World Bank (2018,) perubahan iklim juga akan menyebabkan kemiskinan lebih dari 100 juta orang penduduk bumi karena kehilangan pekerjaan terutama di sektor pertanian, perkebunan, dan peternakan. Mereka menjadi kelompok yang rentan terhadap ancaman kesehatan, seperti kekurangan gizi, wabah penyakit, dan bahkan ancaman kematian bagi jutaan warga dunia.

Sebagai negara yang berada di garis katulistiwa, Indonesia rentan terhadap bencana alam yang diakibatkan oleh perubahan iklim. LAPAN (2018) menyatakan bahwa ancaman yang dapat terjadi di antaranya adalah kenaikan muka air laut karena mencairnya es di kedua kutub, merosotnya ketahanan pangan, dan kebakaran lahan akibat cuaca panas yang ekstrem. Permasalahan kebakaran lahan menjadi tantangan terberat bagi Indonesia karena berulang kali terjadi setiap musim kemarau dan belum ada solusi yang menyeluruh.

Bencana kebakaran lahan terbukti berdampak negatif dalam meningkatkan emisi gas rumah kaca di Indonesia dari tahun ke tahun. Salah satu solusi yang ditawarkan oleh Kuki Soejachmoen (2017) adalah melakukan restorasi pada lahan yang rentan terbakar karena kandungan air yang sangat rendah, seperti lahan gambut. Restorasi lahan dilakukan dengan cara mempertahankan dan meningkatkan fungsi lahan sebagai resapan air terutama pada lahan yang berpotensi terjadi kebakaran. Restorasi lahan bertujuan untuk mengembalikan fungsi ekologi yang dilakukan melalui tiga pendekatan, yaitu pembasahan, penanaman ulang, dan merevitalisasi sumber mata pencaharian masyarakat setempat.

Perubahan iklim sebagai bagian dari  SDGs (Sustainable Development Goals / Tujuan Pembangunan Berkelanjutan) ke-13 merupakan permasalahan yang harus segera ditangani karena berkaitan langsung dengan kehidupan di bumi yang kita tinggali sekarang. Dalam Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim PBB yang dihasilkan dalam Konvensi Rio de Janeiro pada 2012 disampaikan tentang bahaya emisi gas rumah kaca dan berbagai strategi bersama untuk menurunkannya melalui SDGs. Upaya ini terus berlanjut dan berhasil merumuskan agenda perubahan iklim dalam SDGs melalui Perjanjian Paris pada 2015 yang kemudian diadopsi oleh hampir seluruh negara di dunia.

Halaman:

Editor: Pikiran Pembaca Pikiran Rakyat


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Dapatkan konten ekslusif "Langganan
sekarang
dan tetap
up to date!"
Email Address:

Terpopuler

Kabar Daerah

Pikiran Rakyat Media Network

x