Hoax Jegal Warga Berpikir Rasional

- 30 Januari 2019, 23:45 WIB
diskusi iwo banten
diskusi iwo banten

SERANG, (KB).- Hoax yang mulai masif menyebar menjelang Pemilu 2019, telah disepakati sejumlah kalangan sebagai fenomena yang mengkhawatirkan. Isu-isu negatif itu, bahkan bisa memicu konflik di tengah masyarakat lantaran menjegal warga untuk berpikir rasional tanpa mencari pembanding atas informasi yang diterimanya. Demikian diungkapkan para pemantik diskusi Ikatan Wartawan Online (IWO) Banten bertemakan Hoax dalam Pusaran Politik di salah satu cafe di Kota Serang, Rabu (30/1/2019). Para pemantik tersebut yaitu Akademisi Untirta Harits H Wicaksono, Ketua Bawaslu Banten Didih M Sudi, dan tokoh Provinsi Banten Embay Mulya Syarief. Akademisi Untirta Harits H Wicaksono mengatakan, isu hoax yang disebar menjelang Pemilu 2019 bukan hanya ditunjukan untuk menyerang hanya satu pasangan calon. Namun menurutnya, hoax juga sudah menyasar kedua pasangan capres dan cawapres yang tentunya akan merugikan rekam jejak mereka di mata masyarakat. "Masyarakat Indonesia sekarang sedang disibukan oleh saling serang isu hoax. Banyak masyarakat menjadi bebal dan merasa paling benar ketika menyebar isu-isu hoax yang sebenarnya tidak pernah mencari data pembanding dari informasi yang dia terima," katanya. Harits mengungkapkan, meluasnya isu hoax saat ini dipengaruhi oleh aktivitas masyarakat di sejumlah platfrom media sosial. Informasi yang berseliwuran di medsos tersebut, banyak yang langsung disebarluaskan tanpa terlebih dahulu memverifikasi kebenarannya. Menurut Harits, kondisi ini terjadi karena dipengaruhi oleh ketidaksukaan seseorang terhadap tokoh, figur ataupun kondisi yang dia rasakan langsung di lapangan. Selain itu, sentimen suku, agama, ras dan adat juga menjadi faktor terbesar seseorang dengan mudahnya terpengsruh oleh berita-berita bohong yang beredar. "Akhirnya dia jadi bebal ketika ada orang yang mengkritik informasi yang dia sampaikan di medsos. Yang memberitahu dan meluruskan juga menjadi percuma, karena dia jadi maha benar sendiri dengan informasinya," ujar Harits. Berdasarkan teori yang ia kutip dari seorang aktivis internet, Eli Pariser, fenomena menyebarnya hoax secara masif dipengaruhi oleh adanya sistem filter bubble efek di medsos. Kata Harits, setiap pengguna medsos akan disuguhkan oleh isi konten yang berbeda-beda tergantung dengan aktivitasnya saat berselancar di dunia maya. Teori ini, kata dia, akan menggiring para pengguna internet sesuai dengan kebiasaannya masing-masing. Jika informasi yang diakses merupakan penyebaran isu-isu sensitif, maka news feed ataupun timeline yang muncul di beranda akun medsos orang tersebut juga berupa isu-isu sentimen yang bernada profokatif. "Alogaritma filter bubble efek itu tergantung sama like, komen dan aktivitas seseorang di media sosial. Akhirnya muncul dampak negatifnya yaitu falses consesus efek, kondisi dimana seseorang akan menjadi bebal jika terus menerus dicekoki hanya dari satu sumber. Sehingga apa yang dia baca langsung dipercaya dan dishare ke orang-orang lain," tuturnya. Menjelang Pemilu 2019, filter bubble efek banyak dimanfaatkan oleh sekelompok orang untuk meraup keuntungan di bidang politik. Lebih ironisnya kata dia, fenomena ini bukan hanya menyasar kepada masyarakat yang memiliki tingkat ekonomi yang rendah. Tetapi, juga menargetkan orang berpendidikan tinggi yang tingkat ekonominya terbilang mapan. "Efeknya, bukan hanya menyasar kepada orang dengan literasi membacanya sedikit. Orang yang berpendidikan tinggi juga bisa kena. Banyak dosen yang dengan mudah percaya sama hoax. Bahkan dia ikut menyebabrkan konten-konten yang salah tersebut," ucapnya. Harits menyebut, setidaknya ada tiga dampak negatif akibat sistem filter bubble efek tersebut. Di antaranya, seseorang akan menjadi fanatik terhadap kondisi tertentu, menjadi bebal akan kritik dan menjadi yang paling benar walaupun ia menyebarkan hoax di media sosial. "Tentunya, kalau ini dibiarkan terus menerus tanpa ada tindakan tegas, akan menjadi bahaya dalam kondisi sosial masyarakat. Tapi ada fakta lain, setelah ada tindakan dari penegak hukum, malah itu dibilangnya memihak. Ini tentu harus menjadi perhatian kita semua," katanya.
Ketua Bawaslu Banten Didih M Sudi mengungkapkan, hoax merupakan musuh yang harus dilawan secara bersama. Sebab menurutnya, hoax bisa dimunculkan oleh kelompok manapun untuk mencari keuntungan pribadi dan golongannya. "Secara prinsip, kita tidak bisa menyebutkan kelompok yang terlibat dan ikut menyebarkan hoax itu. Karena memang itu sulit dideteksi dan bisa muncul dari siapa saja. Ditambah, tingkat minat baca kita rendah. Dari 61 negara, Indonesia paling buncit di bawah Singapura dan Thailand," kata Didih. Di Banten, kata Didih, masyarakatnya juga memiliki karakteristik sensitifas dan emosi agama yang tinggi. Faktor ini, tentu akan memudahkan masyarakat Banten tersulut oleh isu-isu hoax bermuatan agama yang berasal dari informasi media sosial. "Tingkat berisiknya juga tinggi. Facebook kita urutannya ketiga di bawah Amerika dan India. Instagram keempat di bawah Amerika, India dan Brazil. Sudah berisik, tapi jarang baca. Akhirnya nyebar info tanpa melakukan verifikasi lagi. Ya, lengkap sudah," ujarnya. Meskipun demikian, Bawaslu kata Didih terus berupaya melakukan antisipasi meluasnya penyebaran hoax di Banten. Salah satunya, dengan terus mengedukasi masyarakat agar bijak saat beraktivitas di media sosial. "Bawaslu selain punya fungsi penindakan, juga punya tugas pencegahan. Khawatir seorang tokoh masyarakat dapet informasi belum jelas tapi info itu tidak dia filter lagi keaslian sumbernya," tutur Didih. Tokoh Banten Embay Mulya Syarief menyatakan bahwa fenomena hoax sudah terjadi sejak Tuhan menciptakan manusia pertama yaitu Nabi Adam Alaihissalam. Maka dari itu, ia mengajak seluruh pihak jangan mudah percaya dengan informasi yang belum jelas kevalidasinya, apalagi yang menyebar di media sosial. "Zaman Nabi Adam itu sudah ada hoax. Masak kita sebagai keturunannya mau kembali lagi kaya kondisi masa lalu," katanya. Sambil berkelakar, Embay yang merupakan tokoh pendiri Provinsi Banten ini juga pernah menjadi korban hoax. Tapi, ia tidak pernah menggubris isu negatif tersebut. Ia malah kembali mengajak seluruh pihak agar lebih selektif ketika menerima informasi apapun, khususnya informasi yang bersumber dari media sosial. "Sekarang, walaupun kita berbeda-beda pilihan politik karena mau Pemilu, jangan mau kita jadi korban hoax. Apalagi jadi penyebar hoax, kita harus jaga kondusifitas di Banten supaya pemilu kali ini berjalan lancar," ujar Embay. (Rifat Alhamidi)*

Editor: Kabar Banten


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x