Petani Penggarap Eks HGU PT Sugih Mukti 'Dihantui' Pungli Pengukuran

- 10 Mei 2019, 02:47 WIB
WhatsApp Image 2019-05-09 at 21.19.24
WhatsApp Image 2019-05-09 at 21.19.24

AKSARAJABAR.COM, SUKABUMI - Sejumlah petani penggarap eks HGU PT Sugih Mukti perkebunan Halimun Kecamatan Warungkiara, Kabupaten Sukabumi, dihantui pemerasan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab dengan dalih biaya pengukurab tanah untuk proses sertifikasi lahan dalam rangka redistribusi lahan eks HGU.

 

Diketahui, tanah HGU tersebut awalnya sekitar 751 ha, kemudian dilelang sekitar 20 ha. Saat ini, tanah tersebut yang di garap sekitar 1700 orang petani dari dua desa yaitu, Desa Warungkiara dan Desa Sirnajaya sebanyak 430 ha, sedangkan sisanya sekitar 280 ha masih berupa perkebunan karet yang digarap oleh PT Sugih Mukti.

 

Abah Isar salah seorang petani penggarap asal Desa Sirnajaya mengatakan, belum lama ini petani diwajibkan membayar biaya pengukuran lahan yang katanya proses pengajuan redistribusi lahan sebesar Rp 200 / meter. Ia dan petani lainnya merasa keberatan dengan pembayaran pengukuran itu.

 

"Biayanya, sekitar Rp 200 per meter atau jika per satu patok mencapai Rp 80 ribu. Pembayaran tersebut dikumpulkan ke Forum petani yang ada disini (warungkiara, red)," katanya.

 

Sementara, Ketua DPC SPI Sukabumi, Rozak Daud  mempertanyakan panitia penyelesaian eks HGU PT Sugih Mukti yang pernah di bentuk tahun 2013. Di dalam kepanitian tersebut SPI dan HMI ikut terlibat. Februari 2014, pernah dibuat kesepakatan bersama, dan ditandatangani para kades , muspika serta panitia penyelesaian eks HGU PT sugih mukti.

 

"Begitu pun masalah biaya pengukuran. Jika dibebankan kepada petani penggarap, BPN sempat memberikan gambaran berapa biaya yang harus dibayar per meternya, tapi BPN tidak berani melakukan hal tersebut karena belum ada kepastian berapa luas yang akan diserahkan kepada masyarakat," Singkatnya.

 

Dikonfirmasi terpisah, Ketua Forum Petani Penggarap Warungkiara (FPPW) Puloh Saepul Anwar mengungkapkan, bahwa pemungutan Rp  200 itu benar adanya. Namun, bukan biaya pengukuran akan tetapi iuran organisasi melalui musyawarah serta di sosialisasikan ditiap desa dan kades pun mengetahui.

 

"Pengukuran itu adalah tahapan program TORA yang di awali dari penyuluhan dari BPN kepada semua petani di desa. Klarifikasi saja kepada semua pengurus dan anggota yang selalu musyawarah. Ini bukan biaya ukur tapi iuran organisasi dan semua hasil kesepakatan dengan berita acara," ungkap Puloh dalam aplikasi perpesanan.

 

Masih kata ia, jika memang dilapangan terjadi seperti itu (Isu pemungutan liar, red) dan punya fakta bawa saja orangnya serta tanya langsung. "Saya sampaikan karena ini program menyangkut orang banyak. Maka, segala sesuatu kami selalu musyawarahkan untuk segala keputusan terbaik. Jika ada petani yang  dimaksud tadi mungkin tidak ikut berorganisasi. baiknya bawa  ke kami atau kepihak berwenang supaya yang di sampaikannya dipertanggungjawabkan," pungkasnya. (*)

Editor: Afriza Candra


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x